a l t e r e g o s e n s i t i f





Sedekat apa dirimu dengan alam? Terkadang karena kita sudah terlanjur merasa dekat, tanpa sadar kedekatan itu justru menjauhkan. Dekat tapi jauh. Saling mengenal namun urung bertegur sapa.

Aku melewatkan masa kecil disana. Sembilan tahun, di salah satu lembah, di tepi kali, di antara himpitan bukit yang mata ini bahkan tak mampu menjangkaunya sekaligus. Hijau. Luas sekali. Hiburan setiap pagi dari jendela ruang tamu. Kaldera yang tak pernah bosan menyapa orang-orang di bawahnya.

Pertanyaannya adalah apakah kamu pernah naik ke atasnya, merasakan kaki-kakimu kotor bersentuhan dengan tanah dan rumput yang tingginya melebihi lututmu?. Aku pernah. Sekali. Dan membuatku sembelit saking dinginnya. Aku ingat betul perasaan itu. Perut melilit. Usus seperti dipelintir. Rerumputan begelinjang senang menertawakanku. Angin pegunungan menusuk-nusuk kulit yang biasanya tertutup celana. Matahari pun ikut mengejek, ia menolak hadir sebagai sunrise seperti biasanya.

Sekarang saya dua enam, pengalaman beberapa tahun lalu adalah yang pertama sekaligus terakhir. Orang pegunungan macam apa kamu itu? Mendaki baru sekali. Bukit. Bukan gunung. Hhh.. Like I care. Tapi aku peduli, seperti halnya wabah Instagram yang semakin menggeliat, menggerogoti iman para pecandu-pecandu foto di dunia maya. Ada yang kawakan, banyak juga yang dadakan. Dan di salah satu fitur sosial media itu lah, pertengahan tahun lalu aku dikasih pamer sebuah panorama yang membuat mulutku menganga, lalu berujar,

“Ini di mana man? Mirip Bromo..”

“Ini dekat sini Tse’! Naik motor 15 menit, lanjut mendaki 25 menit. Udah deh, sampai..”

“Masak sih?? Kok aku nggak pernah tahu”

“Payah tenan kowe ki!”

“Emang kamu udah pernah kesana??”

“Belum..”

Kemudian gelut.

---

Aku menemukan teori baru bahwa, sekalinya berkunjung kesana, pasti akan ada episode kesana yang kedua atau kesana yang ketiga. Akhir Februari menjadi saksi. Betapa aku dan saudara perempuanku berangkat terlalu pagi. Menahan dingin dini hari yang bisa mencapai  7⁰ C, berkendara roda dua menantang angin. Alam tetap berkuasa, kulit tetap ditembusnya.

Pukul empat, kami sudah di tanah lapang, lahan parkir yang dikelilingi kedai-kedai dari kayu. Ibu muda terlihat sedang sibuk di salah satu kedai sederhana. Ia baru akan memulai hari.
“Pagi sekali mas, ngopi dulu biar anget badannya..”

Menolak halus. Kami mulai melangkahkan kaki di atas jalan bebatuan. Seperempat perjalanan, sedikit pendakian sudah ngos-ngosan. Gulita di kanan kiri. Khawatir salah arah. Saudara perempuanku menyesal tidak memakai sepatu. But life must go on. Setelah hampir setengah jam, tepat saat adzan subuh berkumandang, kami sudah berdiri di salah satu puncak kaldera ini. Iya benar, kami kepagian. Langit masih hitam. Yang mengagetkan adalah ada bapak-bapak sudah nangkring di situ, lagi-lagi menawarkan kopi hitam panas. Akhirnya kami minum kopi sambil menatap gelap langit pegunungan. Syahdu.

Sepuluh menit kemudian, kaki sudah berpindah pijakan, ke puncak lain yang paling tinggi dataran ini ini. Kurang lebih 2300 dpl, di desa tertinggi se-provinsi. Ternyata sudah ada yang sampai duluan, sepasang kekasih yang akhirnya aku tahu mereka naik bis dari Jakarta, dan empat cewek berbahasa asing. Dingin? Tentu. Mulut seperti keluar asap setiap kali kami berbicara. Cuaca mendung memancing kekecewaan. Kami sudah menduganya sejak masih di rumah. Namun kamera handphone tetap tidak boleh dimatikan. Demi Instagram yang menjanjikan ke-eksis-an (sekaligus kehampaan, -red).

Hey lihatlah, hitam awan itu akhirnya terbelah oleh cahaya.


Pelukismu agung siapa gerangan. Sun-rise oh sun-rise.. ciptaan Tuhan.

Kami sibuk dengan kekaguman kami sendiri. Serpihan tanah basah yang melekat ujung celana adalah perkenalan. Semacam ‘get along together’ dengan alam semesta. Sekaligus awal obrolan juga dengan mbak-mbak dari Jerman.

“Do you want some?” she said,

“What is it?”

“It’s a hamster food!” laughing, “Just try it.. It’s kind of.. Peanut??” asking, “But for human.”

“Hahaha..”


Kamu harus menghirup udara yang aku hirup. Biarlah posesif. Namun tidak ada udara segar seperti di sini. Waktu sudah menginjak di enam tiga puluh, ketika kami beranjak turun. Sesekali berhenti untuk mendalamkan obrolan dan mengambil gambar. Ada view yang dengan sentuhan Apps, bisa terlihat seperti lukisan.


Sebuah pagi yang kaya akan warna. So, apa yang kamu dapat? Foto matahari terbit? Klise!. Tubuh yang merasakan, foto tidak cukup untuk menggambarkan mengapa orang bisa ketagihan.

Siang menjelang dhuhur, kuartet dari Jerman itu tidak berbohong. Ada telepon berdering, disusul suara excited di belakangnya.

“Hey! We’re here, at the green mosque.”

Dari tempat mereka menginap, membutuhkan waktu sepuluh menit naik bis mikro untuk mencapai desaku. Salah satunya sedang mencoba minuman buah Carica, ketika aku menemukan mereka. Orang-orang di sekitar terpukau dengan kehadiran mereka. Jalan kaki bersama cewek-cewek Kaukasoid ke arah rumah tentu menjadi pemandangan menarik bagi penduduk desa. Mereka yang sedang mencari matahari, berjubahkan sarung seperti Superman, nangkring di pinggir jalan dan minim hiburan. Beberapa berteriak,

“Hoee. Londho londho!” (Londho, dicomot dari kata Be-landa. Sebutan untuk bule di daerah sini. -red)
Bakalan meriah nih.. tertawaku dalam hati.

“That’s my friends!” Kataku sambil menunjuk segerombolan pemuda pengangguran di seberang jalan.

“Oh.. helloooo!” seru teman-teman baruku. Lalu tertawa.

Yang disapa sumringah, kami disilaukan oleh cahaya kuning cokelat gigi-gigi mereka.


Dari kiri: Claudia, Nova, Martha, Iva. Satu lagi yang motret.. aduh lupa namanya. Susah dihafal euy!.

Mereka penggemar makanan Indonesia. Tentu saja. Apalagi bakwan dan tempe kemul (mendoan pegunungan). Iva bertanya apakah capcay yang akan ia makan mengandung daging. Dia vegetarian. Dan ternyata banyak hal yang bisa jadi bahan obrolan, karena dasarnya memang suka ngobrol. Ledakan tawa sesekali mengiringi. Ah, mereka membawakan Ibu dan saudara perempuanku perfume.

“Duh, jangan-jangan jodohmu orang barat nanti..”  Ibuku berujar. Khawatir.

Masing-masing lalu bercerita tentang pekerjaan, dan daerah asal masing-masing. Aku seperti sedang mewawancarai calon pegawai. Lalu Bavaria dan Bavarian menjadi topik hangat percakapan berikutnya. Mereka memberiku Post-Card. Dari gambar di kartu pos itu, mengalir cerita ke spot-spot yang tak terbayangkan sama sekali. Aku jadi ingin sekali pergi kesana. Tiba-tiba hujan turun deras. Kesempatan pamer masih ada. Mereka menyukai video klip Whatever You Say.

“Apakah kamu menaruhnya di Youtube? What’s your band name? It’s awesome!” Cecar yang tidak kelihatan di foto.

Aku meleleh.

---

Juli, atas dasar pengalaman orang-orang rumah, dan juga Agustus selalu menjadi yang terdingin di antara dua belas bulan yang ada. Mereka bilang, tebal embun terkadang bisa menyerupai salju. Ada yang menumpuk di atap rumah yang berbahankan seng, lalu kisaran pukul delapan akan mencair terkena sengat matahari, mengalir perlahan, jatuh deras ke daratan. Seperti guyuran air hujan.

Sabtu malam pukul sembilan kurang sebelas, di bawah sparkling gugusan bintang yang nampak begitu terang, kami bagaikan kunang-kunang yang sedang berkejaran. Satu nyawa, satu mesin. Kendaraan yang ber-kofling adalah keuntungan, rekanku mengekor di belakang dengan apa yang disebut motor bike without ‘teeth’. Matic. Jalan aspal menanjak ini adalah yang paling menanjak, sekaligus berliku, warga menamainya area lima belas persen. Gardu pandang ke atas. Sayup-sayup aku mendengar bunyi klakson berbunyi berulang kali dari arah belakang, bukannya melebarkan telinga, namun aku justru mengurangi gigi dan menambah volume gas.

“Tega kamu mas tadi ninggalin.. Aku klakson nggak denger pho? Hampir mati tadi di belakang.. Jari-jari tanganku udah nggak kerasa, nafasku sesak mas.. rasanya mau jatuh dari motor tadi..” Grutu rekanku begitu sampai depan rumah, sambil cengar-cengir.

“Hahaha iya kah? Emang lagi dingin banget nih.” Jawabku santai.

Pagi hari, jalan mendaki sudah menanti kami lagi, ikut serta pula saudara perempuanku. Jika Februari kami terlalu pagi, maka Juli kami terlalu siang. Pukul enam kami baru naik, melawan arus karena justru banyak orang yang sedang berjalan turun.

“Udah kesiangan mas.. sunrise-nya udah abis..” Beberapa bersuara seperti ketika berpapasan.

Aku cuma tersenyum. Tapi tetap ada Screw You dalam hati. We’re not looking for sunrise anyway.

Menjelang ramadhan, bukan hal yang mengagetkan jika kaldera ramai penuh pendatang. Beberapa menginap dari semalam, membangun tenda. Di sekitar terlihat sisa-sisa api unggun, terlihat serakan bungkus Pop Mie, botol air mineral kosong dan plastik, lalu plastik, lalu plastik. Kemudian banjir. Tanah longsor. Jembatan lima belas persen runtuh separuh. Alam murka.

So, Fuck You pribumi untuk tidak membawa kantong sampah sendiri!.

Aku bersyukur karena bangun kesiangan. Keramaian jauh sudah berkurang. Alam semesta tersenyum menyambutku. 


Kami melompat ke gundukan lain. Sejenak, Hyperballad milik Bjórk terngiang di telinga. There’s a beautiful view.. from the top of the mountain. Tapi demi Tuhan yang maha luas, aku sama sekali tidak ada niat untuk melompat, apalagi sampai imagine what my body sound like, slamming against those rocks.

Jepretan kamera handphone-ku jadi idola di Instagram dan Path. I felt like a successful hamster! Ups.. Hipster!. Yang ada hanya decak kagum, Subhanallah, bagaimana lansekap itu dibuat sedemikian rupa indahnya. They took our breath away. Kamu perhatikan, sebelah kanan adalah rumah gubuk yang pernah aku ceritakan.

Di gundukan lain, kami berdiri di atasnya. Udara menjadi tak begitu dingin, kami masih berkeringat akibat perjalanan pendakian, dan sinar matahari terlihat begitu dekat, sekaligus menghangatkan.


Lihatlah hamparan ladang kentang itu menguning karena cahaya mentari pagi. Danau di bawahnya, yang terlihat seperti berwarna silver kecoklatan, di atasnya terbentuk bayang-bayang bukit yang mengerucut. Beberapa, lewat sosial media mulai marak bertanya, “Kamu sedang mendaki gunung?”. Spot pojok kiri bawah yang hampir tak terlihat itu adalah tanah lapang untuk parkir kendaran, dan juga warung-warung kopi. Maka kuasa Tuhan mana lagi yang kamu ragukan?.

Aku jadi ingat ketika Claudia bertanya lima bulan lalu,

“What’s the name of that lake?”

“Well.. hmm..” aku berpikir, thinker brow

“Well..?” 

“Well.. I don’t know..” menyerah

“It’s ok, no problem..” She said. Smiling.

Aku merasa gagal menjadi guide.

---


Tak ada yang tertinggal. Langit selalu menunggu. Biru putihnya, sejenak membuatmu mampu untuk berjalan di atasnya. Ada kedamaian yang menuntunnya menjadi sebuah lamunan. Spektrum warna yang tertangkap oleh retina begitu sempurna. Jangan-jangan kita yang kurang pandai bersyukur. Mungkin lupa diri. Tinggi hati. Selalu melihat yang lebih tinggi. Bahkan Sindoro masih terlihat lebih tinggi. Yang pasti Tuhan maha tinggi.

Perjalanan pulang. Di jalan utama yang lebarnya hanya satu kaki dan bertepikan jurang itu, aku bertemu teman masa kecil. Kulit gosong a dinas gunung, sepatu karet AP Boots, tapi sudah lusuh, serta kantung cokelat besar di pundaknya. Tersenyum melihatku.

“Nyari kayu?” Tanyaku basa-basi

“Oh nggak.. Ini buat sampah-sampah yang ditinggalin di atas, mudah-mudahan muat,” jawabnya.

Kantung itu cukup untuk membungkus badanku, ditali mati, lalu dibuang ke kali.

“Anak-anak daerah sini biasanya yang suka ninggalin sampah sembarangan. Seenaknya sendiri, merasa memiliki tapi nggak membumi. Turis-turis dari luar kota dan luar negri, bukannya mbandingin tapi mereka tahu diri, lebih menghargai dan sadar diri..” lanjutnya lagi. Aku mencoba berempati.

Lima menit kemudian kami berpisah. Ia melanjutkan naik. Kami melanjutkan turun. Meninggalkan satu titik di 2300 dpl yang sudah mulai komersil.

Ah, harusnya aku memotretnya tadi! Buat instagram!.

Categories:

Leave a Reply