a l t e r e g o s e n s i t i f





Mungkin tidak hanya saya yang merasa kalau kadang-kadang kegiatan koass itu benar-benar seperti merenggut kehidupan kita. Semuanya. Waktu, tenaga, pikiran dan terlebih materi. Hehe. Nggak, bukan berarti saya materialistis. Itu hanya perumpamaan dari kenyataan selama kurang lebih 1,5 tahun koass yang saya jalani. Saya sendiri pernah absen selama kurang lebih 3 bulan, you know.. bad things sometimes happened. Dan kedatangan mereka tidak pandang bulu, tidak mau tahu kita sedang sibuk-sibuknya nyari pasien buat requirement, mengitari semua bangsal dari Multazam, Arofah, Mina lalu balik lagi ke Mudzalifah untuk mendapat Acc atau ijin merawat pasien, lalu ngantri PC untuk input kasus pasien, belum minta nilai DOPS, nilai LOG Book dan tanda tangan evaluasi kasus. Bahkan disaat kita sedang nulis follow up pun, yang jumlahnya ratusan lembar itu. Bad things always got their way to make us kneel down n cry. 


Dan saat-saat ujian mini cex adalah saat dimana kita akhirnya dipaksa untuk mengingat lagi pelajaran-pelajaran yang kita terima selama kuliah. Mini Cex adalah gabungan ujian praktek merawat pasien dan sesi tanya jawab mahasiswa-dosen tentang ilmu yang ada di dalamnya setelahnya. Mahasiswa profesi seperti kita ini seringkali disibukkan dengan perasaan frustrasi dan pikiran yang merancau sendiri entah tentang apapun itu, dosen, pasien, hutang yang menumpuk di bagian admin, belum jika asmara datang menghampiri lalu mengkhianati, ah apalah gunanya belajar, mendadak lupa!. Yang ironisnya, belajar merupakan satu-satunya kewajiban kita sebagai mahasiswa. Itulah juga gunanya orang tuaku tak jemu-jemu mengirimkan doa dan sokongan dana nya agar kelak saya jadi orang yang berguna. Sokongan dana? Iya sampai subuh-subuh pun mereka keluar rumah hanya untuk mencari pinjaman dana pada tetangga. Batinku menangis saat itu. Lalu saya akan merasa sangat bersalah jika tidak belajar, tapi biasanya selimut kemalasan lebih tebal dan tentunya lebih hangat. Akhirnya saya tertidur dan esok paginya saat mini cex cuman bisa bengong, lalu dikasih tugas. Beruntung jika kamu tidak diminta mengulang mini cex oleh dosen penguji.

Saya tidak mengatakan saya tidak ikhlas dalam menjalani ko ass selama 1,5 tahun atau lebih kemarin. Aku hanya masih gamang dengan hukum alam yang menyiratkan “jika kamu tidak ikhlas kamu tidak akan dapat apa-apa”. Ah, aku jadi ingat serial Kiamat Sudah Dekat, sungguhpun ikhlas itu sangat sulit untuk dijalani. Akhirnya saya menampar sendiri bayangan tak sopan itu. Karena bagaimanapun kita hidup sebagai manusia, selalu akan ada tahap kehidupan yang harus kita lewati, selalu akan ada masalah yang harus kita selami dan mencoba mencari solusi, selalu ada sesuatu yang harus kita korbankan. Dan keikhlasan tidak akan datang secara instan, sepanjang hidup kita akan dipaksa belajar tentang ikhlas. Jika kamu berpikir ikhlas itu sulit, jatuhnya akan sulit, jika kamu berpikir itu mudah, insyaallah dimudahkan. Dan jika kamu merasa terpaksa, berarti kamu masih manusia. Tapi semua yang berbau terpaksa itu tidak baik, ah tidak juga! Kalau kita tidak dipaksa belajar ya tidak belajar. Jadi bagaimana? Ikhlas saja. Amin ya Allah. Ampuni hambamu yang pongah ini.

Aku masih ingat betul, jika kita datang jam8 ke AMC, berarti kita datang paling pagi diantara mahasiswa profesi setelah perawat gigi dan Cleaning Services. Begitu kamu memasuki pintu kaca bangsal Multazam, berarti kamu sudah siap untuk memulai rutinitasmu lagi, kegiatan rutin yang sama dengan jenis dan nasib berbeda di hari yang baru. Beberapa langkah lebih masuk ke dalam, kamu akan melewati deretan kursi gigi yang masing-masing masih tertutup rapat oleh blanket tipis berwarna biru tua, benda-benda itu masih nyenyak dalam peraduannya setelah sepanjang hari kemarin diperah bagaikan sapi karapan. Ruangan masih sedikit redup, karena cahaya matahari belum bisa masuk lewat kaca-kaca tebal itu. 

Ketika AC belum dinyalakan, coba berhenti sebentar, pejamkan mata dan tajamkan penciumanmu. Sisa-sisa bau keringat ketiak mahasiswa profesi dan dosen dihari sebelumnya, bercampur dengan bau gas gangren akibat trepanasi, uap dari bahan Bonding yang botolnya lupa dibiarkan terbuka terlalu lama oleh mahasiswa, kegiatan Scalling USS masal yang meninggalkan serpihan-serpihan kalkulus bercampur air ludah dan darah dari bekas ekstraksi gigi di wastafel dental chair, dan bau akrilik jika kamu membuat mahkota sementara sendiri samar-samar masih terasa. Belum lagi kaus kaki!. Uhh, untung kita ber AC, mau panas mau dingin, mau hujan mau badai diluar sana, suhu ruangan kita tetap 23 derajat celcius, jika kedinginan maka ditambahkan nomornya, jika kepanasan tinggal kita kurangi nomornya. Ini adalah surga duniamu, jika kamu berfikir dalam-dalam.

Masih ditempat yang sama, aku seperti berdiri ditengah derap langkah kaki-kaki yang serba terburu-buru, terburu-buru mengambil plastis instrumen yang tertinggal di ruang alat saat menumpat gigi pasien, terburu-buru mencari perangkat light cure yang entah hilang secara tiba-tiba padahal tadinya sudah kita ambil dari ruang bahan, terburu-buru mondar mandir dengan handphone nempel di telinga dan mulut komat kamit merentet karena pasien yang dinantikan tak kunjung datang, terburu-buru melintasi bangsal menggendong tumpukan Student Report untuk verifikasi, terburu-buru mengejar dosen yang mau rapat dan terburu-buru karena waktu sudah menunjukan pukul 16.30 sementara jam kerja kita terbatas pada pukul 15.00. Aku sendiri malam sebelumnya berakhir di pukul 18.30, bersama partner in crime sebilikku lengkap dengan si pasien, untuk membuat prakarya berupa mahkota sementara. Dan yang aku tahu, semua perawat dan CS disini baik hati. Lalu esok harinya kami dipanggil oleh penanggung jawab bagian profesi, ibunda kami yang disayangi, dokter Erma Sofiani. Haha.

So what you got here my friends?. Apakah kehidupanmu benar-benar direnggut? Atau malah sebaliknya bahwa selama kurang 18 bulan kemarin itu kehidupanmu penuh sesak dijejali dengan beraneka ragam ilmu pasti? Atau tak pasti?. Ketika kita bertemu orang, akhir-akhir ini sadar nggak sadar yang pertama terlintas dipikiran kita adalah ‘harta karun’ yang ada didalam mulutnya. Otomatis pandangan mata kita tertuju ke giginya, entah mengapa sebegitu otomatisnya, kita mengikuti ritme gerak bibir orang yang sedang kita ajak bicara, mereka mangap kita seolah olah ikut mangap juga dan sebagainya. Begitu mereka tersenyum dan sekilas terlihat bayang-bayang hitam di sisi mesial gigi incisivus sentralis atas, “Oh Tuhan, Sujudku padamu ya Rabb!”, kita pun tersenyum, dan lebih lebar.

“Girl, mau nggak ditambal giginya?”
“kenapa emangnya?”
“itu item-item di gigi depanmu, nanti lama-lama tambah besar lho, ntar nggak cute lagi.. hehe”
“oh ini? Iya nih mas, pengen.. tapi belum punya duit..”
“hmm.. masalah biaya ndak usah khawatir, yang penting besok hari selasa kamu datang jam7 pagi ke AMC, gimana?”
“beneran mas gratis?”
“iyaaah.. buat kamu apa sih yang nggak..”
“hmm.. boleh deh, makasih yaa”
“sama-sama dek, sampai jumpa selasa ya” 

(Alhamdulillah yaa, akhirnya dapat pasien untuk ujian Kompre, it’s really something/ini adalah sesuatu sekali. FYI, pasien untuk ujian Komprehensif memang dibebaskan dari biaya perawatan, alias digratiskan)

Percakapan diatas adalah contoh kecil dari banyaknya ilmu yang kita dapat selama koas di RSGMP – AMC. Kita berbicara dengan orang, menawarkan sesuatu, sedikit merayu dan nggombal sampai akhirnya mereka mau merawat gigi mereka, itu disebut ilmu komunikasi. Karena as you know gigi hanya tumbuh dua kali seumur hidup, hilang kali kedua, ya sudah, ompong!. Begitu pasien sudah duduk di dental chair, dalam benak mereka mungkin akan bicara “dokter macam apa yang akan merawat saya?”. Disini, kita belajar untuk membangun suatu hubungan dan kepercayaan, membuat mereka comfort, tidak ketakutan selama dirawat dan tentunya mereka pulang dengan senyum mengembang karena puas dengan hasil perawatan. Atau kalau mereka datang dengan tampang kesakitan, setidaknya kita bisa mengubah tampang muram itu menjadi menjadi lebih enak dipandang. Human relationship memang paling complicated. Hhh.. berharap aku bisa sekonsisten seperti yang aku tuliskan. Pray for me my friends! For us!.

Menghargai. Jika kita ingin dihargai, maka tidak mungkin kita tidak menghargai orang lain, meskipun kadang tanpa kita menghargai orang lain, kita akan dihargai dan juga sebaliknya. Tapi alangkah indahnya saling menghargai satu sama lain. Tiba-tiba satu pesan di hp masuk,

“kakek-kakek kita sudah datang bro.. buruan mangkat!”

Sms tadi menyadarkan saya bahwa waktu sudah menunjukan pukul 9 pagi lebih 1 menit. Padahal minggu lalu kita janjian pukul 9, saya sendiri baru selesai mandi. Oh, betapa pria-pria tua itu sangat menghargai waktu. Ini adalah keberuntungan saya dan Rifky yang mendapat pasien Full Denture kooperatif dan bermotivasi tinggi. Yang biasanya, untuk beberapa mahasiswa mengalami kesulitan untuk mendapat pasien gigi tiruan penuh rahang atas dan bawah. Aku hanya takut kebiasaan burukku akan terbawa sampai tua.

Oke, kembali lagi. Ternyata teman, tidak hanya kita saja yang berjalan cepat agak berlari muter-muter 4 bangsal. Pengajar kita, dosen-dosen yang tanpa kenal lelah dan mengabaikan keringat yang bercucuran juga jumlah langkahnya tak kalah banyak dengan kita untuk muter-muter bangsal. Mereka, pengajar-pengajar yang berdedikasi tinggi itu dengan semangatnya mengecek satu demi satu pekerjaan mahasiswa profesi, mulai dari preparasi tumpatan yang bevelnya kurang, teknik mencabut gigi yang posisi bein-nya terlalu berdiri, kawat ortho yang sudah berulang kali diperbaiki namun tetap traumatik, penghitungan MMR yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, pencetakan pasak logam yang disertai porus dan sebagainya sampai tidak ada lagi yang keliru. 

“Belajarlah dari yang benar dulu”, begitu kata salah satu dosen pendidik. Mereka, dulu pernah di posisi kita dan sekarang kita yang mengais ilmu dari mereka. Belum jika dari ketiga bangsal yang aktif, hanya ada satu atau dua dosen yang hadir, maka beliau-beliau ini harus ekstra sabar, dan tentu akan terjadi antrian dari mahasiswa profesi untuk sekedar minta Acc atau indikasi. Para mahasiswa ini akan dengan patuh mengikuti langkah ke bangsal manapun dosen itu pergi selanjutnya, sambil membawa rekam medis, atau nampan kecil berisi gigi yang telah berhasil dicabut. Pemandangan yang selalu mengundang senyum.

See the good things? We got a lot. Yang paling nampak sekali dan tidak bisa kita pungkiri adalah, perpindahan dari jas praktikum yang panjangnya hampir sampai ke lutut ke jas koass, yang lebih mirip jas dokter. Ya iyalah, white coat. Itu dari tata busana, sementara dengan saya sendiri, sejak saat itu tidak pernah ada lagi Dibby yang berambut gondrong dan terkesan urakan. Semua menjadi lebih cerah dan rapi. Subhanallah ya.

Kami jadi tahu apa yang orang lain tidak tahu, kami kemudian bisa melakukan sesuatu pada rongga mulut yang orang lain belum tentu bisa, kedua tangan kami lengkap dengan sepuluh jari yang sekarang jadi jauh lebih bermanfaat daripada sebelumnya, terpenting kami menjadi bisa membantu orang lain, dengan menyelamatkan gigi-gigi mereka. Mengedukasi pasien, tak jemu-jemu mengingatkan bahwa ‘mencegah sangat lebih baik dan lebih murah daripada mengobati’, dalam hal ini tentunya adalah memberikan motivasi untuk selalu menyikat gigi sebelum terjadi sakit gigi, dan bagi orang tua untuk lebih memperhatikan kesehatan gigi anaknya sejak dini. Dan lambat laun semakin menyadari merawat pasien bukan hanya sekedar untuk requirement. What a good things. Sungguh karunia ini tiada duanya, semoga kepala kita selalu tertunduk ke bawah, dan selalu ingat bahwa kita bisa seperti itu bukan hanya karena diri kita sendiri. 

Tak lepas dari itu, peran perawat gigi yang juga tak kalah sabarnya dalam melayani kami koass-koass yang egois, apalagi jika sudah diburu waktu, sepertinya tak lagi peduli dengan lingkungan dan tutup mata dengan perasaan hati orang lain. Mereka, para perawat gigi patut kita hargai dan padanya kita harus angkat topi tinggi-tinggi. Siang menjelang dhuhur itu biasanya adalah puncak-puncak ketegangan pengambilan alat dan bahan, ironisnya adalah jam menjelang waktu istirahat formal. Meskipun sudah ada peringatan ‘dilarang masuk ke ruangan selain petugas’ tetap saja umpel-umpelan kayak di pasar. Pagi itu, biasanya sepi, tensi mulai naik saat menjelang tengah hari, dan menurun lagi pada saat jam pulang. 

Sambil menunggu redanya hujan, mahasiswa biasanya berebut duduk untuk online Fesbukan di 3 komputer bangsal yang bertuliskan ‘hanya untuk kepentingan akademik’, dan na’as bagi yang lupa men sign-out akun nya, pasti statusnya akan jadi menakutkan, seperti “SIMBOKKK! PENGEN KAWINNN!”. Anehnya lagi mereka juga saling bertulis pesan di wall Fesbuk-nya masing-masing, padahal mereka sedang duduk bersebalahan. Twitter tidak begitu populer karena mereka lebih suka yang dominan visual. Esok harinya akan mulai lagi siklus baru seperti hari kemarinnya. Bertemu lagi dengan para Petugas Parkir, Satpam dan CS yang rajin dan pekerja keras.

Prodi Kedokteran Gigi UMY, seolah menjadi saksi bisu sebuah proses transformasi kehidupan anak manusia yang ibarat kepompong berubah menjadi kupu-kupu, dan sudah mulai mengepakkan sayap rapuhnya. Apakah kamu sudah merasa menjadi kupu-kupu sekarang? Untuk sementara mungkin kita bisa berkata YES. Tapi seperti halnya dulu, saat kita baru saja lulus SMP dan bingung mau lanjut sekolah di SMA mana, sekarang pun demikian, kita melewati lagi satu fase kehidupan. Disana sudah menunggu masalah-masalah baru, tantangan baru, cinta yang baru dan I must say.. kehidupan baru yang lebih individu. Seperti kata Prof Dib, bahwa menjadi dokter gigi itu harus ramah, tidak boleh sombong dan bertoleransi tinggi. Seperti tingginya toleransi kita saat masih bekerja dengan teman sebilik kita, menentukan jam atau hari atau shift bekerja masing-masing, sehingga tidak bentrok kedatangan pasien dan sama-sama enak, satu operator satunya asisten, lalu berharap nantinya akan lulus bersama, meskipun pada akhirnya ada yang tidak sesuai dengan asa. Tanpa disadari, itulah yang sedang kita pelajari selama ini, team work! Walaupun prakteknya hanya bertahan satu semester saja. Ah, Multazam 05 memang ada-ada saja, selalu ada bandelnya! Aku juga tidak tahu kenapa.

Akan tiba saatnya nanti kita, mungkin sebagian dari kita atau kita semua. Dipusingkan dengan pemesanan etalase, kursi gigi, pembuangan limbah, pemesanan aneka rupa alat dan bahan yang diperlukan selama praktek baik private maupun community, ijin aparat setempat, tarif perawatan, dan masih banyak lagi sampai marketing lalu maintaining. All by ourself. Lalu sebagian dari kamu akan mengeluhkan ramainya kelas yang diajar, mahasiswa-mahasiswa itu seperti tidak peduli dengan mata kuliah yang kamu berikan, seperti halnya kita yang juga kadang tidak memperhatikan saat kuliah berjalan. Lalu sebagiannya lagi masih teguh memperjuangkan akan munculnya suatu masa dimana Paradigma Sehat benar-benar sudah memasyarakat, dimana pasien pergi ke praktek dokter gigi tidak untuk mengobati gigi tapi berupaya mencegah timbulnya sakit gigi. Pun dilema moral kita yang seperti ‘menari’ saat pasien datang ke tempat kita dalam keadaan sakit akan teratasi. Apapun di kemudian hari, semua itu adalah bagian dari wujud amal baik kita selama hidup di bumi.

Dentist is not just a prestige. Pun, belum tentu kita sudah tahu segalanya begitu kita graduate, aku berharap tidak muncul kata ‘jengah’ untuk membaca dan tidak malu untuk terus bertanya. Now I don’t know what more can I say. Semoga kita bisa menjadi dokter gigi yang bermanfaat bagi umat, saling hormat antar sejawat dan terus saling mengingat. God bless all of us!.

DibbY. Sekitar September 2011.

Categories:

2 Responses so far.

  1. Radhiana says:

    amin, semoga apa yang telah dijalani, menjadi barokah dan selalu diridhoi Allah SWT. :D

  2. ketawa sendiri baca tulisan ini. well executed! jadi semangat lagi besok ngejar2 dosen sama merayu rayu pasien :p terimakasi tulisanya!

Leave a Reply